Konsentrasi penyiaran di tangan segelintir konglomerat media menciptakan pilihan semu: jumlah stasiun TV beragam, tapi isinya seragam!
Potensi masalah UU Cipta Kerja bukan cuma dari aspek ketenagakerjaan atau lingkungan. UU ini juga menjadi tiket terusan bagi dominasi oligarki penyiaran.
Media-media mengecer hoaks Timor Leste, memancing syahwat ultranasionalisme pembaca Indonesia.
Krisis Covid-19 memberikan pengalaman menonton sepakbola yang berbeda. Salah satunya adalah makin mengentalnya logika media dalam setiap laga.
Kita butuh media yang dikelola dari, dengan, dan bagi publik. Meski masih banyak tantangan, kooperasi media adalah jawaban yang selama ini kita cari.
Media memang penuh dengan masalah. Tapi bukan seperti imajinasi parno sekte teori konspirasi.
Pemecatan Direktur Utama TVRI Helmy Yahya cuma gejala dari masalah yang ada di TVRI. Namun, masalahnya sendiri jarang kita bicarakan. Sekaranglah saatnya.
Di tengah buruknya kinerja dan transparansi, komisioner KPI malah berniat untuk mengawasi layanan Over-The-Top seperti YouTube dan Netflix. Niat ini menunjukkan tidak beresnya pengelolaan KPI yang harus ditangani dengan serius.
Proyek Meikarta terancam gagal karena tersandung berbagai kasus. Namun ia berhasil dalam satu hal: sebagai proyek percontohan demokrasi yang dicaplok korporasi.
Reuni 212 absen dari layar Metro TV. Sebagian publik menilai Metro TV tengah “bunuh diri” secara ekonomi. Benarkah mengabaikan Reuni 212 dapat merugikan Metro TV secara bisnis?
Media kerap menunggangi arus populisme Islam dan politik identitas untuk mengeruk klik. Apa ongkos yang harus dibayar?
Media digital tentu menghadirkan tantangan yang berbeda dari media konvensional. Namun, itu tidak berarti bahwa kualitas harus selalu jadi korban.